Rabu, 13 Juli 2011

SEMANTIK

JAN29

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Semiotika modern dipelopori oleh dua orang tokoh, yaitu Ferdinand de Saussure (1855 – 1913), seorang ahli linguistic dan Charles Sander Peirce (1839 – 1914), seorang ahli filsafat. Saussure menyebutnya semiologi sedangkan Pierce menyebutnya semiotika (semiotics). Baik semiotika maupun semiologi, keduanya merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda.
Penelitian sastra dengan pendekatan semiotic pada dasarnya adalah lanjutan dari pendekatan dengan semiotic karena karya sastra itu merupakan struktur tanda – tanda yang bermakna.
Pengertian semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda–tanda (Pradopo dalam Jabrohim, 2003: 67). Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signitied). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanta adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu yaitu artinya.



  1. Perumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian Bahasa?
2.      Apakah pengertian Semiotik
3.      Bagaimana bahasa sebagai sistem semiotik ?
  1. Tujuan Penelitian
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengertian teori bahasa dan semiotik
2. Mengetahui bahasa sebagai sistem semiotik








BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Bahasa
            Chaer  mengatakan bahwa bahasa adalah lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri. Menurut pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan suatu sistem yang berupa lambang dan bunyi bersifat arbitrer sebagai alat komunikasi.
            Keraf mengatakan bahwa bahasa mencakup dua bidang, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap berupa arus bunyi, yang mempunyai makna. Menerangkan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antaranggota masyarakat terdiri atas dua bagian utama yaitu bentuk (arus ujaran) dan makna (isi). Menurut pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang merupakan alat komunikasi antaranggota masyarakat berupa bentuk dan makna.
            Soekono mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat yang berupa bunyi suara atau lambang yang dikeluarkan oleh manusia untuk menyampaikan isi hatinya kepada manusia yang lain.
            Owen dalam Stiawan menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
            Menurut Santoso mengatakan bahasa adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.
            Mackey mengemukakan Bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem.
            Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat bersifat arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia berupa bunyi atau lambang yang mempunyai arti.
            Menurut Wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
            Walija (1996:4), mengungkapkan definisi bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada orang lain.
            Pendapat lainnya tentang definisi bahasa diungkapkan oleh Syamsuddin (1986:2), beliau memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
            Sementara Pengabean (1981:5), berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf.

B.      Pengertian  Semiotik
Semiotika sendiri berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda.
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.
Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.
Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics).
Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Menurut Saussure tanda memiliki tiga wajah yaitu tanda itu sendiri (sign), aspek material (suara, huruf, bentuk, gambar, gerak) dari tanda yang berfungsi menandakan atau yang dihasilkan oleh aspek material (signifier), dan aspek mental atau konseptual yang dibentuk oleh aspek materil (signified). Hal terpenting yang dilakukan dalam melakukan analisis tentang tanda adalah mengetahui mana aspek material dan aspek mental dari sebuah tanda; karena tanda itu sendiri merupakan kesatuan antara signifier dan signified. Hubungan antara signifier dan signified disebut sebagai signification. Dijelaskan lebih lanjut oleh st. Sunardi bahwa dalam analisis semiotika yang dicari adalah berbagai hubungan yang menyatukan antara signifieds (jamak) dan signifiers dari berbagai unsur obyek tersebut. Hubungan antara signifieds dan signifiers kemudian akan menghasilkan makna. Dalam sistem tanda, Saussure menjelaskan bahwa suatu tanda akan dapat menghasilkan makna karena adanya prinsip perbedaan atau sistem hubungan antara tanda.

C.      Bahasa sebagai Sistem Semiotik
            Semiotic berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, reorika, dan poetika. “tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Jika diterapkan pada tanda – tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri.
            Komunikasi sangatlah penting dalam segala hal. Segala sesuatu tidak akan dapat berjalan tanpa adanya komunikasi. Ketika seseorang belajar, berpengalaman, maka orang tersebut melakukan dan membutuhkan komunikasi.
            Semiotic sebagai tanda – tanda atau symbol yang digunakan sebagai alat bantu mengkomunikasikan sesuatu. Dengan semiotic segala sesuatu yang ingin disampaikan dengan dapat dimengerti walaupun tidak disampaikan secara lisan. Semiotic sekarang ini diibaratkan suatu model dalam menyampaikan suatu materi.
Semiotika, sebagai bagian dari sistem kode, mempunyai peranan penting dalam kemajuan teknologi saat ini. Teknologi komunikasi dalam komunikasi pendidikan saat ini juga menggunakan teori semiotika dalam menyampaikan informasi. Informasi yang akan disampaikan terlebih dahulu dirubah dalam suatu simbol atau sistem kode yang kemudian disampaikan melalui peralatan telekomunikasi kepada komunikan, dan ketika simbol atau sistem kode tersebut sampai di receiver, maka simbol atau sistem kode tersebut akan dirubah kembali menjadi bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia.
1.      Semiotik dalam media
Pada dasarnya, studi media massa mencakup pencarianan pesan dan makna-makna dalam materinya, karena sesungguhnya semiotika komunikasi, seperti halnya basis studi komunikasi, adalah proses komunikasi, dan intinya adalah makna. Dengan kata lain mempelajari media adalah mempalajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.
Teknik-teknik analisis yang diterapkan, secara garis besar, terdiri atas teknik-teknik kuantitatif dan kualitatif. Teknik analisis kuantitatif adalah yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas, namun hasilnya kurang mantap. Titik tolaknya ialah bahwa ciri-ciri yang dapat diukur dinyatakan sebagai tanda. Dalam surat kabar, perhatian terhadap masalah dinyatakan dalam jumlah kolom, besarnya judul, jumlah ilustrasi dan letak. Pada analisis kualitatif, tanda-tanda yang diteliti tidak atau hampir tidak dapat diukur secara matematis.
2.      Semiotik dalam periklanan
Dalam komunikasi periklanan, ia tidak hanya mennggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juka komunikasi lainnya seperti gambar, warna, dan bunyi. Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televise, dan film.
Pada dasarnya, lambang yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu yang verbal dan yang nonverbal. Lambang verbal adalah bahasa yang kita kenal; lambang nonverbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas. Ikon adalah bentuk dan warna yang serupa atau mirip dengan keadaan sebenarnya seperti gambar benda, orang, atau binatang. Ikon di sini digunakan sebagai lambang.
Tanda nonverbal dapat diartikan semua tanda yang bukan kata-kata. Ada beberapa cara untuk menggolongkan tanda-tanda;
  1. Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui oleh manusia melalui pengalamannya; misalnya, kalau langit sudah mendung menandakan akan turun hujan, dan kalau hujan sudah turun terus-menerus ada alasan untuk mengatakan banjir, dan kalau banjir ada alasan untuk menyatakan timbulnya penyakit.
  2. Tanda yang ditimbulkan oleh binatang; misalnya kalau anjing menyalak kemungkinan ada tamu yang memasuki halaman rumah, atau tanda bahwa ada pencuri
  3. Tanda yang ditimbulkan oleh manusia. Tanda ini dapat dibedakan atas yang bersifat verbal dan yang bersifat nonverbal. Yang bersifat verbal adalah tanda- tanda yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara, sedangkan yang bersifat nonverbal dapat berupa:
a.       Tanda yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti dengan lambang, misalnya “Mari!”
b.      Suara, misalnya bersiul, atau membunyikan ssst… yang bermakna memanggil seseorang.
c.       Tanda yang diciptakan oleh manusia untuk menghemat waktu, tenaga, dan menjaga kerahasiaan, misalnya, rambu-rambu lalu lintas, bendera, tiupan terompet.
d.      Benda- benada yang bermakna cultural dan ritual, misalnya buah pinang muda yang menandakan daging, gambir menandakan darah, bibit pohon kelapa menandakan bahwa kedua pengantin harus banyak mendatangkan manfaat bagi sesama manusia dan alam sekitar.














BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Bahasa memiliki urgensi yang tinggi pada saat ini, hal ini ditandai dengan munculnya berbagai aliran filsafat, seperti fenomologi, eksistensial, analitika, neopositiveme, hermeneutika, dan semiotika. Orang menyebut filsafat abad ke-20 hingga saat ini adalah filsafat bahasa (logosentrisme). Banyak para filosof yang memandang “Bahasa” sebagai objek pemikiran sehingga bahasa telah menjadi tema sentral filsafat Eropa dan Amerika.
Sebagai disipln ilmu, pendekatan, metodologi, atau bidang kajian – kajian, semiotika nampaknya kini mulai banyak didekati, tidak saja para akademisi tetapi juga para mahassiswa khususnya pada program studi komunikassi. Semiotika telah menjadi bidang kajian yang sangat penting dalam disipllin komunikasi, karena semiotika merupakan bagian dari bahasa. Semiotika merupakan cabang ilmu yang berkaitan dengan sistem tanda.
B.      Saran
Semiotik sebagai disiplin ilmu dan juga sebagai sistem dari bahasa, haruslah dapat difahami dengan baik, dan di kaji lebih dalam, karena semiotik dapat bermanfaat untuk perkembangan bahasa di masyarakat. Dengan memahami sistem semiotik ini maka kita lebih mudah berinteraksi atau berkomunikasi walaupun tanpa lisan.


DAFTAR PUSTAKA

Ambary, Abdullah. Intisari Tata Bahasa Indonesia. Bandung: Djatnika. 1986.(Google)
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004 M.(Google)
Sudjiman, Panuti dan Aadrt Van Zoest. 1992. Serba – serbi Semoitika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.(Google)
Masinambow, E.K.M., Hidayat, S., 2001, Semiotik, Jakarta: Balai Pustaka.(Google)


0 komentar:

Posting Komentar